Mendidik menjadikan anak hormat dan santun saja tidak cukup

Kesan pertama saat kita melihat saat menilai seseorang adalah melalui penampilan dari luarnya; baik lewat tutur katanya yang santun, atau perilaku sopan dan hormat, yang sesuai dengan norma-norma yang ada dimasyarakat.

Namun, penampilan luar saja tidak cukup. Perilaku sopan santun kadang kala dapat menipu kita. Bahkan, banyak para penipu ulung yang perilakunya sangat hormat, tutur katanya memikat, tetapi apa yang ada didalam hatinya adalah rencana untuk mencelakakan orang lain.

Menurut La Bruyere, seorang filsuf Prancis, “Politiness does not always produce kidness of heart, justice, complacency, gratitude, but it gives to man at least the appearance of it, and makes him seem externally what he really should be” Sopan santun tidak selalu melahirkan kebaikan hati, keadilan, kepuasan, rasa syukur, tetapi ini dapat memberikan seseorang -paling tidak -terlihat sopan, dan membuatnya tampak dari luar apa yang seharusnya menjadi benar-benar terhormat.menghormati-orang-tua

Maka seorang filsuf dari Perancis, Andre Compte Sponville mengatakan bahwa perilaku sopan santun merupakan perilaku tiruan dari tindakan dan kebajikan. Apabila demikian pertanyaanya adalah, Perlukah kita mengajarkan kepada anak-anak kita hormat dan santun yang ternyata merupakan tiruan kebajikan? Jawabanya adalah sangat perlu.

Jawaban ini merujuk pada apa yang dikatakan oleh Compte Sponville, “Politeness is that pretense, or semblance, of virtue from which the virtues arise” Sopan santun adalah tiruanya atau penampakan luarnya, dari kebajikan yang darinya timbul kebajikan-kebajikan sebenarnya.

Jadi, mengajarkan sopan santun kepada anak-anak benar-benar sangat diperlukan. Sopan santun adalah awal dari pembentukan karakter anak. Seorang anak perlu diajarkan untuk terbiasa berkata terimakasih, karena ini merupakan atribut luar dari akhlak yang senantiasa bersyukur atau berterimakasih atas segala anugrah yang telah diberikan kepadanya.

Kita mengajarkan anak untuk berkata permisi dan tolong, karena kata-kata tersebut adalah tiruan dari perilaku manusia yang selalu menghormati orang lain. Atau kata maaf sebagai tiruan dari sifat pemaaf.

Perilaku hormat dan santun yang diajarkan kepada anak-anak, dapat memberikan peluang besar bagi mereka untuk menjadi orang yang berkarakter (Berakhlak mulia). Atribut luar (sopan santun) perlu diajarkan dulu sebelum mengajarkan maknanya (menjadi manusia berakhlak mulia). Mengapa begitu? Anak kecil belum dapat menangkap makna di balik apa yang terlihat secara kasat mata.

Namun, mengajarkan atribut luar saja tidak cukup, karena seorang anak perlu diajarkan cara menjadi manusia berakhlak mulia dengan jalan mempratekkanya, dan menghidupkan rasa cinta terhadap kebajikan. dengan begitu nuraninya menjadi hidup.

Jika semua itu tidak dilakukan, maka perilaku hormat dan santun, tidak mempunyai makna hakiki. Ia hanya menjadi hiasan luar. Ibarat mengajarkan kepada anak-anak untuk memberi hormat kepada bendera setiap hari Senin tetapi tidak mengajarkan kepada mereka bagaimana cara menghormati negara dengan jalan menjaga kehormatan dirinya (tidak korupsi, manipulasi, dan tidak membuat kerusakan di muka bumi.) Wallahu’alam

sumber: buku menyemai benih karakter, Ratna Megawangi

Yayasan Islam Lu’Lu’ul Maknun Indonesia (ILMI)

ILMI Foundation

SD Qu Hanifah