Generasi Berkarakter “Si Kancil”
Ingat dongeng “Si Kancil“? Tentu. Hampir semua orang Indonesia pasti pernah mendengarnya. Walaupun banyak versi tentang dongeng ini, namun ada seperangkat karakter yang dominan pada sosok si kancil, yaitu si kancil adalah binatang yang cerdik, nakal, licik, suka mencuri, pintar berkelit, dan penipu ulung. Anehnya, pesan yang disampaikan dalam beberapa versi dongeng ini bernuansa netral, bahkan cenderung menjadikan tokoh si kancil sebagai hero, terlepas dari berbagai kelicikanya yang dibuatnya.
Memang ada beberapa versi yang memperlihatkan bahwa kecerdikan si kancil dipakai untuk hal yang positif, misalnya menolong kerbau ketika sedang dicengkeram oleh buaya (walaupun dengan cara menipu juga). Namun yang lebih dikenal justru karakter si kancil yang cerdik tetapi nakal dan suka mencuri, namun di-“tokoh”-kan itu. Masih ingat ketika si kancil gemar mencuri ketimun namun tidak pernah mendapat hukuman yang setimpal? pernah juga ia berhasil ditangkap oleh petani dan dikurung, tetapi dengan kecerdikanya dia bisa menipu anjing petani sehingga bisa lepas dari kurunganya.
ada lagi versi “Si Kancil” yang bagi saya paling absurd, dan berbahaya jika diceritakan kepada anak-anak. Secara garis besar ceritanya sebagai berikut. Si Kancil tanpa sengaja terperosok ke lubang yang cukup dalam. Ia tidak bisa keluar dari lubang tersebut. Datang se ekor gajah yang menyelamatkanya keluar dari lubang tersebut. Namun si kancil menipu si gajah bahwa langit akan runtuh dan menyuruhnya masuk ke dalam lubang tersebut agar ia selamat. Si gajah yang menganggap si kancil adalah kawanya, menurut saja untuk masuk ke lubang. Ternyata ia justru terperosok ke dalam lubang dan tidak dapat keluar selamanya. Si kancil mengejek si gajah sebagai binatang yang dungu, dan berlari gembira ke dalam hutan.
Bayangkan! Dimana nurani si kancil yang begitu tega menipu kawanya yang telah menolongnya keluar dari lubang? Apa posan moral dari kisah ini? kecuali mengajarkan kita untuk menjadi orang cerdik agar bisa menipu dan menjerumuskan orang lain.
kita tahu bahwa cara efektif untuk mengajarkan moral kepada anak adalah melalui dongeng. Plato mengatakan bahwa anak-anak harus diajarkan acuan moral agar senantiasa cinta akan kebenaran. dan menurut Plato berdongeng adalah kunci penting untuk menumbuhkan rasa cinta anak kepada kebenaran. Apabila isi sebuah cerita bisa begitu menarik, ini akan mendorong anak untuk meniru tokoh-tokoh yang ada didalam cerita.
Pesan moral yang diperoleh seorang anak dari kisah-kisah yang dibacanya akan mempengaruhi imajinasi dan tindakanya, sehingga dapat membentuk kepribadianya secara permanen. Nah, kalau kisah-kisah “Si Kancil” memberikan pesan bahwa dengan kelicikan si kancil selalu berhasil mendapatkan apa yang diinginkanya, maka ini akan mempengaruhi perilaku seorang anak. Apalagi kalau dongeng tersebut sudah menjadi bagian tradisi yang begitu melekat dalam kehidupan masyarakat, maka akan membentuk pula karakter masyarakat tersebut.
Jangan-Jangan???
Jangan-jangan generasi yang sedang menjalankan roda kehidupan di Indonesia adalah generasari “Si Kancil”. Tulisan ini memang bukan kajian akademis untuk membuktikan sebuah hipotesis sebab akibat, namun kalau kita lihat kenyataan yang ada cenderung membenarkan logika ini. Kita masih ingat bagaimana cerdiknya Eddy Tansil mengelabui pejabat tinggi, Bank Bapindo, termasuk lolosnya dari tahanan. Kasus Gayus tambunan korupsi pajak yang bisa jalan-jalan dari lapas bahkan bisa menonton tenis. Kasus BLBI yang melibatkan sejumlah uang ratusan triliun rupiah tanpa ada proses hukum, dan pelaku KKN lainya yang cerdik seperti si Kancil. Akal-akalan ala si kancil dari tingkat pemimpin ( yang masih segar dalam ingatan adalah korupsi simulator SIM oleh salah satu petinggi pejabat penegak hukum). Anehnya semua ini dilakukan tanpa ada rasa bersalah, persis seperti tumpulnya nurasi si kancil.
belum lagi kelihaian beberapa pegawai negeri yang dapat menyulap gajinya sampai berpuluh kali lipat, kebiasaan contek-nyontek para pelajar, oknum LSM yang mencari uang atas nama rakyat, kebiasaan mengutil ti toko-toko, begal sana-begal sini….. Wahhh rasanya tidak ada habis-habisnya kalau perilaku mirip si kancil ini disebut satu persatu, dan saya kawatir kalau karakter si kancil sudah menjadi karakter bangsa. Untuk perilaku ini, bangsa Indonesia boleh di bilang paling jitu. Buktinya Indonesia masuk dalam Top 3 negara terkorup di dunia!!!
menanamkan moral melalui dongeng memang sudah menjadi tradisi di seluruh dunia dan sudah berlangsung beratus-ratus tahun. Tujuan mendasar dari cerita fabel dapat kita kaitkan dengan teori Aesop, seorang filsuf Yunani. Aesop melihat tingkah laku binatang mempunyai kemiripan perilaku dengan manusia. Ia menginginkan manusia menjadi lebih baik, namun ia menyadari manusia tidak senang kalau secara langsung dikritik perilakunya. Maka melalui sindirian yang dituangkan dalam kisah-kisah fabel, namun dapat belajar bagaimana seharusnya manusia berperilaku. Semua cerita Aesop mempunyai peran moral.
beberapa karya Aesop menjadi dongeng rakyat pada masyarakat barat. Misalnya, The Dog and His Shadow yang mempunyai pesan moral untuk tidak menjadi rakus karena akan membuat kita kehilangan segalanya. The Lion and Tth Mouse yang memberikan pesan pentingnya nilai persahabatan. The Hare and the Tortois yang mengajarkan pentingnya dalam ketekunan berusaha. Juga The Grasshopper and the ants yang menunjukan bahwa menghabiskan waktu bersenang-senang di masa muda dan lupa mempersiapkan hari esok mendatangkan kerugian besar.
ada juga cerita fabel dari barat yang mirip “Si Kancil” misalnya A Beer Rabbit Story yang mengisahkan bagaimana kecerdikan seeokor kelinci yang dapat melepaskan diri dari cengkeraman maut srigala. Namun pesan moralnya jelas, bahwa dengan kecerdikan (ingenuity), kita bisa mengalahkan kelicikan atau kemungkaran, bukan untuk menjadi licik atau menipu.
kita boleh saja melestarikan dongeng rakyat sebagai warisan kekayaan bangsa, namun kita perlu kritis untuk mengkaji kembali pesan moral yang ada didalamnya. Banyak kisah yang sebenarnya bisa dijadikan bahan dongeng untuk anak-anak seperti kisah-kisah Nabi, orang-orang sholeh, kisah wali dan sebagainya. Dan juga tidak ada salahnya mengadopsi dongen-dongeng yang mempunyai pesan moral jelas walaupun dari Barat, seperti karya Aesop. Saya percaya ada Golden Rules yang berlaku universal, yaitu dimanapun di dunia, apa yang disebut moral baik dan buruk secara prinsip adalah sama.
Yayasan Islam Lu’Lu’ul Maknun Indonesia (ILMI)
SD Qu Hanifah
artikel di tulis ulang oleh Hudi Hermawan dari buku Semua Berakar pada Karakter karya Ratna Megawangi, IHF Foundation