Lebih Baik Menyalakan Cahaya
Lebih Baik Menyalakan Cahaya
Oleh : Hudi Hermawan, S.Pd.
Semasa menjadi mahasiswa saya lebih suka aktif kegiatan diluar kampus salah satunya adalah progam andalan yaitu “Go To School” yaitu sebuah progam berkunjung langsung ke sekolah-sekolah mulai dari TK, SD, SMP, SMA sampai Perguruang Tinggi. Entah kenapa meskipun saya jurusan teknik tetapi lebih suka terjun kedunia pendidikan anak. Sejak semester 2 saya sudah aktif berkunjung ke berbagai sekolah yang ada di sekitar Semarang, sampai ketika lulus kurang lebih sudah ada 50an sekolah yang saya kunjungi termasuk yang paling jauh dan plosok dan belum ada listrik sepenuhnya yaitu desa Lengkong-Jember dan Pulo Panjang Banten. Sungguh pengalaman luar biasa ketika bisa melihat dan belajar langsung bagaimana kondisi pendidikan yang ada.
Saya masih ingat ketika baru menjadi mahasiswa, saya mengikuti Latihan Dasar Kepemimpinan atau sering di sebut LDK. Banyak sekali materi tentang kepemimpinan yang diajarkan oleh kakak tingkat kepada saya dan temen-temen mahasiswa lainya termasuk ada materi “Demonstrasi” dan simulasi demonstrasi. Disitu diajarkan bagaimana cara menyuarakan rakyat yang tertindas, sampai pada bagaimana ketika terjadi kerusuhan disimulasikan dengan seperti sungguhan.
Maka Sering kali kita jumpai mahasiswa dengan atribut lengkap pake jas almamater turun ke jalan menyuarakan suara rakyat menuntut adanya perubahan lebih baik kepada pemerintah. Kompleksitas masalah yang ada di negara ini menjadikan kita rasanya gregetan melihat para pemimpin yang malah justru mengkianati rakyat dengan melakukan berbagai tindak yang tidak patut dilakukan seperti korupsi dan sebagainya, maka tak heran ketika para mahasiswa yang disebut sebagai agent of change turun kejalan menuntut pemerintah melaksanakan tugasnya dengan baik dan mampu membangun negara ini menjadi makmur, bahkan tak jarang pula ketika tuntutan ini berakhir dengan adu jotos dengan petugas keamanan.
Tetapi ada gejolak didalam hati saya, yaitu sebuah pesan dari orang tua saya “neg melu demo orak tak akui, kuliah dewe orak usah melu aku” yang artinya Kalau sampai ikut demonstrasi kamu tidak saya akui, silahkan kuliah sendiri jangan ikut saya. Pesan sekaligus larangan yang sangat keras dari orang tua saya, tetapi hati ini selalu bergejolak bukankah mahasiswa itu agent of change termasuk tugasnya selain belajar adalah menyurakan suara rakyat terhadap pemerintah yang zolim?
Saya takut ketika harus ikut menyuarakan rakyat turun ke jalan menuntut keadilan, saya akan dapat karma karena telah melanggar pesan orang tua saya, tetapi saya juga sebagai mahasiswa waktu itu juga ingin menjadi agent of change yang pada waktu itu istilah itu benar-benar masuk dalam fikiran bawah sadar saya. Akhirnya saya menemukan jalan “Dari pada mengutuk kegelapan, kenapa tidak menyalakan cahaya?”
Yup, menyalakan cahaya itu jawabanya. Agent of change tidak boleh diartikan secara sempit banyak cara agar bisa memegang amanah tersebut, lewat organisasi yang bernama EneRC (Engineering Research Club) lembaga keilmiahan di Fakultas Teknik UNNES. Saya yang waktu itu bener-bener nol dalam pengalaman organisasi saya manfaatkan belajar banyak kepada kakak tingkat (ada mas Zain Nugroho, Mas Ari, Mas Fajar, Mas Faiz, Mas Amin dan masih banyak lainya) yang sibuk membuat karya, tidak hanya menuntut perbaikan tetapi lebih banyak mencari solusi terhadap masalah tersebut meskipun hal-hal kecil.
Selama belajar satu tahun kepengurusan jadi anggota biasa, dikepengurusan selanjutnya saya membentuk departemen baru yang bernama “Pengabdian Masyarakat” atau sering di sebut PM. Departemen PM ini ketika awal dibuka sangat jarang peminatnya yaitu hanya 11 orang dibanding departemen teknologi yang mencapai ratusan pendaftar. Dengan 11 ini otomatis semuanya saya terima tanpa ada seleksi, saya tidak putus asa keinginan kuat agar bisa menjadi agent of change terus saya jalankan dengan membuat berbagai progam yang pada waktu itu belum populer salah satunya adalah Go To School. Karena saya melihat bahwa akar masalah bangsa ini adalah pendidikan. Dari progam tersebut kita bisa melihat langsung masalah yang ada, dan tentunya mendorong kita untuk lebih semangat belajar dan bagaimana menciptakan solusi.
(Dok.Pelatihan Guru di SMK NU Nurusalam Kudus)
Progam Go To School tidak hanya untuk siswa tetapi juga untuk para guru, waktu itu meski belum menyandang predikat S.Pd. Saya bersama teman-teman memberanikan diri lewat kerjasama dengan DIKTI mengadakan pelatihan untuk guru, diantaranya SMP N 2 Weleri, SMK N 2 Kendal, SMK NU Maarif Kudus,SMK N 5 Kendal SMP-SMA Se Kab Kudus dan sebagainya diluar dugaan hasil testimoni dari guru-guru peserta pelatihan mengatakan menarik, memotivasi, dan bermanfaat bagi guru.
Meskipun belum ada tindak lanjut penelitian paska pelatihan terhadap pengaruh keberhasilan dalam mengajar, tetapi setidaknya telah berbuat untuk menyalakan cahaya tidak hanya sekedar menuntut perubahan. Andai agent of change bisa diartikan lebih luas mahasiswa ada yang tetap fokus menyuarakan suara rakyat tetapi juga semakin banyak mahasiswa yang membuat karya tentu bangsa ini InsyaAllah akan lebih cepat maju dan Indonesia kembali jaya.