Paradok “GRATISAN”
Memberi adalah suatu perbuatan yang sangat mulia, baik itu yang sifatnya materi seperti uang, baju, makanan dan seterusnya sedangkan memberi yang sifatnya i-materi adalah seperti memberikan bantuan tenaga, pemikiran dan seterusnya. Tulisan kali ini merupakan curhatan berupa “paradok gratisan” yang pernah saya alami dan ternyata hal ini juga berlaku bagi bangsa kita tercinta. Maksudnya bagaimana? bingung? bagus berarti anda membaca dengan fikiran dan perasaan, langsung saja begini ceritanya:
Di desa saya yaitu Desa Jatipurwo, ada lembaga pendidikan dengan misi menjadikan anak-anak bisa mengaji dan berakhlakqul karimah. Setiap bulan biaya pendidikan adalah Rp. 5.000,00 (lima ribu rupiah), biaya yang terkumpul setiap bulan tersebut digunakan untuk biaya operasional seperti kapur tulis, bangku ngaji, membeli kain pel, dan sebagainya. Tetapi tidak mudah menumbuhkan kemandirian masyarakat, karena masih saja banyak orang tua murid yang tidak mau membayar. Masyarakat beranggapan sekolah di formal dalam hal ini sekolah negeri saja tidak membayar alias gratis, atau mungkin selama ini banyak kegiatan atau progam yang datang ke masyarakat kelas bawah adalah kegiatan “Malaikatan”, sehingga masyarakat terbiasa menerima bantuan yang dapat membentuk mentalitas ketergantungan dan tuntutan serba gratisan. Padahal kalau saya lihat anak-anak yang orang tuanya tidak mau membayar, umumnya anak-anak bisa membeli jajan (makanan ringan) dengan rata-rata setiap hari sebesar dua sampai lima ribu rupiah.
Berdasarkan pengamatan tersebut, katakanlah dana yang dikeluarkan oleh sebuah keluarga untuk jajan seorang anak adalah Rp 2.000,00 maka dalam 1 bulan Rp 60.000,00. Rasanya untuk menunggak uang sekolah yang hanya Rp 5.000,00, bukan karena tidak mampu, tetapi karena attitude yang tidak bertanggung jawab atau mentalitas ketergantungan.
Masyarakat sekarang khususnya di daerah desa saya tidak mau ambil pusing terkait biaya pendidikan anaknya. Maka tak heran ketika progam sekolah gratis tidak ada, anak-anaknya tidak disekolahkan lagi, yang lebih parah lagi anak-anak khusunya yang perempuan selalu di dorong untuk menjadi pembantu rumah tangga di luar negeri, seperti Hongkong, Taiwan, Malaysia dan sebagainya. Berbeda dengan ibu dan bapak saya, meskipun kami dulunya hanya sabagai penggarap sawah milik orang lain tetapi dengan tekad yang kuat agar anak-anaknya bisa sekolah orang tua saya bekerja lebih keras agar dapat membiayai sekolah saya. Alhamdulillah sekarang justru orang tua saya bisa memiliki sawah yang dulu hanya menggarap sawah milik orang lain, dan saya merupakan anak di desa saya yang merupakan satu-satunya dapat sekolah sampai lulus dengan gelar sarjana.
Lantas dengan apakah hal ini membuat saya puas? tidak! Hal ini membuat saya semakin tertantang untuk bisa membangun kualitas manusia khususnya diri saya sendiri. Kita semua tahu tentang keerhasilan masyarakat Minangkabau dalam mendidik masyarakatnya sehingga dapat melahirkan tokoh-tokoh hebat yang mewarnai sejarah Indonesia, antara lain Hamka, Hatta, Sjahrir, Moh. Yamin, dan Rusuna Said. Sebelum adanya sekolah SD Gratisan, banyak sekali sekolah bermutu yang dibangun secara mandiri oleh masyarakat. kepedulian masyarakat bukan saja pada pembangunan sekolah, tetapi juga dalam hal lain yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Dulu masyarakat didesa sering bergotong royong dalam hal pembangunan, baik itu pembangunan madrasah, masjid, irigasi, jalan, rumah, dan sebagainya. Namun ketika pemerintah mengambil alih tanggung jawab kebutuhan hidup masyarakat itu dengan nama “Proyek pembangunan”, sikap kemandirian dan gotong royong itu mulai meluntur. Hal itu terjadi karena masyarakat tidak ikut diajak bekerja untuk bersama-sama membangun, tetapi hanya dianggap sebgai objek pasif penerima progam.
Aliran irigasi dijalan-jalan yang tertutup sampah dibiarkan begitu saja karena merasa itu merupakan tanggung jawab pemerintah sehingga ketika hujan turun sering banjir dijalanan karena air tidak bisa mengalir karena tertutup sampah. Begitupula sekolah-sekolah SD Inpres peninggalan masa orde baru diseluruh Indonesia yang kondisinya hampir ambruk, tanpa sedikitpun masyarakat tergerak hatinya untuk bergotong royong memperbaikinya. Masyarakat hanya menuntut dan marah kepada pemerintah agar lebih banyak berbuat seperti “Malaikat”.
Dalam bukunya bu Ratna Megawangi mengatakan; Memang apabila masyarakat terbiasa diberi gratisan, maka akan membentuk etitlement attitude (sikap menuntut hak), dan timbul rasa kemarahan apabila “Hak”-nya tidak dipenuhi. Sikap menuntut itu bertolak belaka dengan sikap bertanggung jawab untuk mandiri memperbaiki nasib sendiri, tanpa mengandalkan orang lain.
Tidak bisa dipungkiri, banyak progam pemerintah yang justru telah mendistorsi nilai-nilai luhur yang sudah ada di masyarakat, seperti etos kerja, kebersamaan, dan rasa ingin mandiri. Sebuah bangsa yang mandiri (berdikari) akan selalu ingin mengubah nasibnya ke arah yang lebih baik. Bangsa yang demikian akan mengambil alih tanggung jawab, bukan melempar tanggung jawab kepada pihak lain. Termasuk juga bertanggung jawab untuk bersama-sama peduli dan membantu mereka yang benar-benar miskin di lingkunganya.
Memang dengan memakai istilah “Pencitraan” humatarian untuk menolong mereka yang miskin, atau progam pemerintah yang populis, akan terlihat etis sekali dan mudah menarik simpati rakyat. Namun mengutip kata dari Alan Hill yang pernah melontarkan pernyataan: “Apabila prinsip-prinsip etika melarang kita untuk melakukan perbuatan buruk agar bisa kebaikan datang, apakah kita dibenarkan untuk berbuat ‘baik’ apabila hasilya yang dapat diprediksi adalah kemudharatan?”
refrensi:
Megawangi, Ratna.2007. Semua Berakar pada Karakter. Jakarta:Lembaga penerbit fakultas ekonomi UI.
Yayasan Islam Lu’lu’ul Maknun Indonesia (ILMI)
ILMI FOUNDATION
SD Qu Hanifah