Bunda Para Nabi

Bunda Para Nabi

 

ibunda-nabiTentu bukanlah kebetulan kalau empat orang Nabi: Ismail as, Musa as, Isa as, dan Muhammad saw dibesarkan oleh wanita janda.
Bunda para nabi itu tentu saja mesti berperan ganda, sebagai ibu sekaligus sebagai ayah. Bagaimana beliau-beliau menjalankan peran itu hingga berhasil mengantarkan para putranya menjadi nabi, berikut ini cuplikannya:

Bunda Nabi Ismail as

Siapa yang tidak mengenal Siti Hajar? Setiap tahun berjuta-juta kaum muslimin dari berbagai penjuru dunia yang naik haji menyaksikan buah karyanya, sekaligus merasakan perjalanan pahit yang pernah dirasakan wanita ini. Siapa gerangan wanita mulia ini? Dia adalah seorang wanita berkulit hitam legam dari Ethiopia, dan seorang hamba sahaya. Ia tidak berdaya dan tidak berkuasa. Bahkan, dirinya sendiri pun ia tidak menguasainya.

Ia dibawa oleh Sarah, Istri Nabi Ibrahim as dari Mesir ke tanah Kan’an ( Palestina) untuk membantu di rumahnya.

Sebagaimana diketahui, Sarah hingga berusia lanjut tetap mandul hingga hampir putus asa untuk dapat melahirkan anak yang diidam-idamkan suaminya. Oleh sebab itu dengan suka rela ia menyerahkan hamba sahaya yang dibawanya dari Mesir itu kepada suaminya untuk dijadikan istri kedua.

Sarah berharap dari rahim Hajar akan lahir seorang putera bagi Nabi Ibrahim as. Harapan itu terkabul. Namun sebagai wanita, Sarah merasakan cemburu juga. Ia jadi tidak enak, cemburu dan gundah gulana. Puncak kesabaran Sarah menjadi habis manakala Hajar melahirkan seorang anak laki-laki yang mungil.

Sarah terus menerus mendesak suaminya supaya menjauhkan Hajar dari pandangan matanya. Pada akhirnya Nabi Ibrahim as pergi mengembara ke arah selatan, diikuti Siti Hajar, sambil mengendong bayinya. Nabi Ibrahim hendak menempatkan puteranya di bawah naungan sisa-sisa bangunan purba, tempat pertama di muka bumi, di mana manusia bersembah sujud kepada Allah, Rabbul alamin.

Setelah melalui perjalanan panjang dan melelahkan, tibalah Nabi Ibrahim bersama istri dan puteranya di sebuah dataran tandus dan gersang. Tidak terdapat seorang manusia pun yang tinggal di kawasan itu. Di dekat sisa-sisa bangunan purba, Nabi Ibrahim as diperintahkan oleh Allah meninggalkan Hajar bersama puteranya, Ismail as. Ibu dan anak balita itu hanya dibekali sekantong kurma dan sewadah (qirbah) air minum untuk bertahan hidup.

Setelah membuat sebuah `arisy (semacam tenda) beliau berangkat ke tempat asalnya. Sudah barang tentu Hajar ketakutan, ditinggal seorang diri bersama bayi merahnya di tengah gurun. Ia meminta agar suaminya menghentikan langkah dan tidak meninggalkannya. Akan tetapi Nabi Ibrahim yang dipanggil-panggil tidak menoleh dan tidak menjawab, seolah-olah beliau khawatir kalau-kalau tekadnya menjadi goyah.

Hajar mengulang kembali permohonannya dengan suara memelas, tetapi Ibrahim as terus berjalan, tidak menoleh dan tidak menjawab. Setelah sampai di bagian lembah yang agak tinggi beliau mendengar suara Hajar bertanya: “Apakah Allah memerintahkan kanda meninggalkan diriku bersama bayi ini di tempat yang mengerikan seperti ini?”. Beliau menjawab: “Ya…! sambil terus berjalan tanpa menoleh ke belakang. Setelah mendengar jawaban seperti itu, Hajar terasa memiliki kekuatan untuk menerima kenyataan. Hajar menyerahkan nasib bersama bayinya kepada Allah dengan penuh keyakinan. Sementara dipandangnya terus-menerus langkah kaki Ibrahim as hingga hilang setelah melewati belokan di belakang pasir. Setibanya dibelokan itu Nabi Ibrahim dengan khusyu berdoa, “Ya, Allah Tuhan kami, kutempatkan sebagian dari keturunanku pada sebuah lembah yang tidak terdapat tetumbuhan, dekat rumah suci-Mu. Ya Tuhan kami, agar mereka menegakkan shalat dan semoga Engkau membuat hati sebagian manusia condong kepada mereka, serta karuniailah mereka berbagai buah-buahan. Mudah-mudahan mereka bersyukur.” (QS.Ibrahim:37)

Puncak kegundahan Hajar adalah manakala perbekalannya sudah habis, sementara air teteknya tidak lagi mengeluarkan air susu. Bayi Ismail kini mulai berteriak-teriak kehausan. Tangisnya semakin melengking, kemudian menurun dan terus menurun. Wajah Ismail semakin pucat pasi. Setelah berlari bolak-balik antara bukit shafa dan Marwah, dan tidak mendapatkan apa-apa, Hajar mencobanya lagi memasukkan teteknya ke dalam mulut anaknya secara berulangkali. Akan tetapi setiap kali putingnya dimasukkan ke dalam mulut, bayi itu tambah kuat jeritannya.

Merasa tidak ada harapan menolong bayinya yang malang itu, Hajar menjauhkan diri dari anaknya yang dianggap tak akan dapat bertahan hidup lebih lama lagi. Ia menjauh karena tidak ingin menyaksikan bayinya mati di depan matanya. Sambil menutup muka dengan tangannya dan meratap, “Tidak..aku tidak mau melihat kematian darah dagingku!”

Pada saat yang kritis itulah Allah menurunkan pertolongan-Nya. Secara tiba-tiba Hajar melihat seekor burung elang yang melayang-layang di udara, kemudian turun dan hinggap di sebuah tempat yang tidak seberapa jauh dari dirinya. Masya Allah! Pemandangan menakjubkan terjadi di depan matanya. Tanah kerontang lagi tandus itu memancarkan air di antara hentakan kaki bayi Ismail.

Ujian Hajar tidak sampai di situ. Memasuki usia remaja anaknya, Ismail, datanglah Ibrahim as yang memberitahukan mimpinya, “ …Anakku, aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelih mu. Pikirkanlah, bagaimana pendapatmu? Ia (Ismail as) menjawab: ` Ayah, lakukanlah apa yang diperintahkan Allah kepadamu, insya Allah ayah akan mendapatiku sebagai seorang yang tabah dan sabar.”

Bunda Nabi Musa as

Al-Qur’an sama sekali tidak menyebut sesuatu mengenai ayah Nabi Musa as. Yang disebut secara khusus hanya bundanya saja. Kepada bundanya itulah, Allah swt memberi kepercayaan kepada untuk membesarkan calon utusan-Nya. Kepercayaan besar itu diberikan kepada ibu Musa ketika Fir’aun tak dapat lagi menahan amarahnya melihat tingkah laku dan kejahatan orang-orang Yahudi (Bani Israil).

Dalam riwayat yang lain disebutkan tentang mimpi Fir’aun yang sangat menakutkan. Para ahli nujum dan juru ramal yang ditanya mengenai arti mimpi itu menjawab, bahwa di kalangan orang-orang Yahudi akan lahir seorang anak lelaki. Apabila besar ia akan merampas kerajaan dan mengalahkan kekuasaan Fir’aun. Ia akan mengusir penduduk asli Mesir dan mengganti agama mereka.

Fir’aun sangat percaya dengan pentakwilan mimpinya yang demikian itu. Maka sejak itu Fir’aun memerintahkan kepada segenap aparatur pemerintah, tentara dan seluruh prajuritnya, untuk membunuh setiap bayi laki-laki yang lahir dari keluarga Yahudi.

Pada kondisi yang sangat mencekam itulah ibu Musa melahirkan anak lelaki secara sembunyi-sembunyi. Ketika itu alat kekuasaan Fir’aun sudah membunuh berpuluh ribu anak lelaki Yahudi. Darah bayi-bayi tak berdosa sudah menggenangi Mesir, yang dibunuh secara sangat sadis.

Kendati melahirkan dengan sembunyi, namun mata-mata Fir’aun yang disebar di segenap penjuru menciumnya juga. Rumah ibu Musa digrebeg dan bayi yang baru beberapa hari lahir itu nyaris diketahui oleh mata-mata Fir’aun. Untung saja beberapa saat sebelum mereka sempat masuk ke dalam rumah, kakak perempuan Musa, Maryam, sempat memberitahu ibunya, bahwa gerombolan mata-mata Fir’aun siap melakukan menggeledahan.

Di antara rasa takut dan bingung ibu Musa cepat-cepat membungkus bayinya dengan secarik kain, lalu memasukkan ke dalam sebuah wadah terbuka kemudian disembunyikan dalam tungku. Untung pada saat tentara-tentara haus darah itu datang, bayi Musa tidak menangis. Di depan para tentara itu ibu Musa berusaha dengan segenap kemampuannya menenangkan diri hingga tampak tidak terjadi apa-apa. Maryam, kakak Musa pun tidak tampak resah dan gelisah. Ia bekerja membenahi perkakas rumah dengan tenang, hingga akhirnya para alat kekuasaan Fir’aun meninggalkan rumah.

Akan tetapi ibu Musa sadar, bahwa bayinya tidak mungkin dapat disembunyikan terus menerus. Ia mencari akal untuk menyelamatkan buah hatinya. Pada saat itu datanglah petunjuk dari Allah yang berfirman, “Taruhlah dia (Musa) dalam peti, kemudian hanyutkanlah dia di bengawan (Sungai Nil). Air bengawan itu pasti akan membawanya ke tepi dan dia akan diambil oleh musuh-Ku dan musuhnya.” (QS. Thaha:39).

Bayi Musa akhirnya terdampar di Istana Fir’aun hingga kemudian, ia berhasil menumbangkan keangkaramurkaan raja yang zhalim itu.

Maryam dinadzarkan oleh ibunya untuk mengabdi pada rumah ibadah (Baitul Maqdis) sedang suami Aminah, Abdullah, dinadzarkan untuk di korbankan oleh ayahnya sebagai tanda rasa syukurnya. Kedua orang tua itu kelak melahirkan orang-orang terbaik bagi peradaban dunia, Isa ibnu Maryam dan Muhammad Saw.

Bunda Nabi Isa as

Untuk mengetahui peristiwa kelahiran Nabi Isa as dapat diperoleh informasinya dari ayat berikut, “(Ingatlah) ketika Malaikat (dahulu) berkata kepada Maryam,” Hai Maryam, Allah menggembirakan engkau (dengan kelahiran) seorang putera yang diciptakan) dengan titah ( “Kun”, “jadilah”) dari-Nya, bernama Al-Masih Isa Putra Maryam. Ia seorang terkemuka di dunia dan di akhirat serta merupakan salah satu di antara hamba-hamba Allah yang didekatkan kepada-Nya.” (QS.Ali Imran: 45)

Islam mengenal Al-Masih dengan nama Isa Putra Maryam berdasar firman Allah tersebut. Yang hendaknya menjadi kebanggaan kaum ibu di seluruh dunia, Isa as dinasabkan Allah kepada Ibunya, Maryam bukan kepada ayah sebagai lazimnya seorang wanita yang disucikan dan dipilih Allah dari seluruh wanita di dunia.

Mengenai kelahiran Maryam, al-Qur’an menjelaskan kepada kita sebagai berikut: “(Ingatlah ketika istri Imran berkata, “Ya Tuhanku, kunadzarkan kepada-Mu anak yang dalam kandunganku ini menjadi hamba yang shaleh dan berkhidmat (pada baitul Maqdis). Karena itu terimalah nadzarku ini. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui…”

“Ketika istri Imran melahirkan anaknya iapun berucap: Ya Tuhanku, aku melahirkan seorang anak perempuan! Allah lebih mengetahui anak yang dilahirkannya itu, dan anak lelaki tidak seperti anak perempuan(selanjutnya ia berkata): Ia kuberi nama Maryam dan ia beserta anak keturunannya kuperlindungkan kepada-Mu dari godaan (syetan) yang terkutuk.”

“Tuhan menerima nadzarnya dengan baik. Tuhan mendidiknya dengan baik dan menjadikan Zakaria pemelihara (anak perempuan itu, Maryam). Tiap Zakaria masuk ke dalam mihrab (ruang khusus untuk beribadah) hendak bertemu dengan Maryam , ia selalu mendapati makanan di sisi anak perempuan itu. Zakaria bertanya, “Hai Maryam, dari mana engkau memperoleh makanan itu?” Maryam menjawab, “Makanan itu dari Allah! Allah memberi rezki kepada siapa saja yang dikehendaki tanpa penghitung-hitung.” (QS. Ali Imran:35-37)

Sebagaimana banyak diriwayatkan, kisah keibuan Maryam benar-benar mengesankan. Beliau sosok wanita yang menghadapi ujian hidup sangat berat. Dia dilahirkan di tengah keluarga yang taat kepada agama dan dari ayah yang ternama di kalangan Bani Israil (Kaum Yahudi).

Ayah Maryam wafat ketika ia masih anak-anak. Ketika diadakan undian untuk menentukan siapa yang akan mengasuh Maryam, pilihan jatuh pada Zakaria, suami bibi Maryam yang juga dikenal sebagai seorang Nabi.

Sejak usia remaja Maryam sangat tekun beribadah kepada Allah di dalam mihrab. Sebagaimana yang dinadarkan ibunya, Maryam rajin mengabdikan diri di rumah peribadatan. Ia tumbuh menjadi wanita shaleh. Ia dijaga oleh Allah dan dipilih untuk mengemban amanat rahasia kekuasaan Ilahi.

Pada suatu hari datanglah informasi yang sangat mengejutkannya. Bahwa atas perkenan Allah Dia akan menitipkan seorang utusan lewat rahim Maryam yang terpelihara dari noda dan dosa. Tentu saja Maryam sangat terkejut dan ketakutan mendengar berita Ilahi yang disampaikan oleh Malaikat Jibril kepadanya. Ia menengadah ke langit seraya berucap dengan penuh tarharu, “Bagaimana aku akan mempunyai anak, sedang selama ini tidak pernah ada seorang manusia pun yang menyentuh diriku, lagi pula aku bukanlah wanita jalang!” Namun Malaikat menjawab, “Demikianlah, Tuhanmu telah berfirman: Hal itu mudah bagi-Ku (anak itu) akan kami jadikan tanda kekuasaan Kami bagi ummat manusia dan (juga) sebagai rahmat dari Kami. Ia itu merupakan soal yang menjadi ketetapan Allah.”

Pada akhirnya Maryam berserah diri kepada kehendak Allah yang telah menjadi suratan takdir-Nya. Tidak lama kemudian setelah itu ia merasakan janin yang di dalam kandungannya mulai bergerak-gerak. Pada saat itu ia mulai merasakan hinaan dari kaumnya.

Ia berusaha menghindarkan diri dari berbagai tuduhan yang menyakitkan itu dengan pergi ke suatu tempat. Ketika saat bersalin sudah tiba, ia bersandar pada pohon kurma, kemudian ia melahirkan di sebuah kandang ternak. Pada saat kritis itu ia berucap, “Alangkah baiknya kalau aku mati sebelum ini dan diriku dilupakan orang!”

Akan tetapi keshalehan dan kesucian Maryam yang sudah diakui masyarakat selama ini tidak dapat mencegah makian dan cercaan semua orang yang menyaksikan Maryam telah melahirkan seorang anak lelaki. Semua celan, cemoohan, gangguan, kebencian, cacian dan fitnah tersebut diterima Maryam dengan tabah dan sabar.

Namun sebagai manusia ia memiliki juga keterbatasan. Maka untuk menghindari dari semuanya itu ia pergi ke Mesir. Ia tinggal di sana selama 10 tahun, hidup dengan bekerja memintal kapas dan memunguti butir-butir gandum sisa panen. Pekerjaan itu ia lakukan sambil menggendong putranya, Isa Al-Masih. Kasih sayang Maryam kepada puteranya Isa as tercurah hingga Al-Masih menerima wahyu Ilahi pada usia 30 tahun.

Menyangkut keduanya al-Qur’an menjelaskan, “Kami jadikan dia (Maryam) dan puteranya sebagai tanda (kekuasaan dan kebesaran-Ku bagi alam semesta.”

Bunda Muhammad saw

Kurun kurang lebih 650 tahun kemudian, di bumi Hijaz muncul rangkaian wanita mulia selanjutnya, yakni ibunda Muhammad Rasulullah Saw, Siti Aminah binti Wahb. Ia adalah wanita suci yang berasal dari keturunan yang tidak pernah ternoda kehormatannya.

Keterangan mengenahi hal ini dapat disimak dalam hadits Nabi sebagai beriut, “Dan selanjutnya Allah memindahkan aku dari tulang sulbi yang baik ke dalam rahim yang suci, jernih dan terpelihara. Tiap tulang sulbi itu bercabang menjadi dua. Aku berada dalam yang terbaik dari keduanya itu.” (hadits syarif)

Menurut Al Hamid Al-Hamidi dalam Baitun Nubuwwah-nya mengatakan, makna umum dari hadits tersebut ialah bahwa dari silsilah pihak ayah, Rasulullah saw berasal dari keturunan yang suci dan bersih dari perbuatan tercela. Demikian pula dilihat dari silsilah ibunya, beliaupun berasal dari keturunan yang tidak pernah ternoda kehormatannya.

Aminah binti Wahb lahir dari silsilah tua pasangan suami istri bernama Wahb dan Barrah. Yang satu berasal dari Bani Abdu Manaf bin Zuhrah bin Kilab dan yang lain berasal dari bani Abdul Manaf bin Quraisy bin Kilab. Jadi, pada Kilab-lah akar silsilah ayah dan ibu Aminah binti Wahb.

Suami Aminah binti Wahb, Abdullah bin Abdul Muthalib, seorang pria dari Quraisy yang berbudi luhur. Ayah Abdullah, Abdul Muthalib adalah pria yang disegani. Bahkan kedudukannya sangat dihormati dan dicintai oleh semua penduduk Makkah, baik yang berasal dari kabilah Quraisy maupun dari kabilah lain.

Beberapa minggu setelah pernikahan Aminah dengan Abdullah, pada suatu malam ia bermimpi ada cahaya yang menerangi dirinya. Sungguh terangnya cahaya itu, hingga seolah-olah Aminah dapat melihat istana-istana di Bushara dan di negeri Syam. Tidak berapa lama sesudah itu, ia mendengar suara yang berkata. “Engkau telah hamil dan akan melahirkan seorang termulia di kalangan ummat ini.”

Dengan gembira Aminah menceritakan mimpinya itu kepada suaminya. Betapa gembiranya Abdullah mendengar kabar tersebut. Akan tetapi rasa gembira itu hanya berlangsung sejenak, yang disusul dengan kesedihan, karena ia harus bergabung dengan kafilah dagang Quraisy. Tidak diketahui entah untuk berapa lama perpisahan itu harus terjadi.

Bahkan ketika sebulan sudah berlalu Abdullah belum juga pulang. Hari berganti hari dan minggu berganti bulan, Aminah tetap tinggal di rumah, bahkan lebih sering di tempat tidur. Satu-satunya yang menghibur adalah keluarga Abdul Muthalib yang bertutur kata manis dan meriangkan.

Sebagaimana lazimnya wanita yag mengandung, Aminah juga mengidam. Namun keidaman yang dirasakannya itu tidak seberat yang dirasakan wanita lain. Dengan kehamilannya itu Aminah makin merindukan suaminya yang sedang bepergian jauh.

Pada suatu pagi, rombongan kafilah berjalan memasuki kota Makkah. Betapa senangnya Aminah karena beberapa saat lagi ia akan bertemu kembali dengan suami terkasihnya. Tapi hingga rombongan terakhir ia tidak mendapati Abdullah. Setengah berputus ada, ia masuk ke dalam kamar dan berbaring. Baru beberapa saat ia merebahkan diri, tiba-tiba ia mendengar suara pintu diketuk orang. Adakah yang datang suaminya? Ia pun segera bangun membuka pintu, ternyata yang datang bukan Abdullah, melainkan mertuanya, Abdul Muthalib bin Hasyim, ditemani ayahnya sendiri, Wahb, dan beberapa orang dari bani Hasyim. Dengan penuh perhatian Aminah mendengarkan kata-kata ayahnya. “Aminah, tabahkan hatimu menghadapi soal-soal yang mencemaskan. Kafilah yang kita nantikan kedatangannya telah tiba kembali di Makkah. Ketika kami tanyakan kepada mereka tentang keberadaan suamimu, mereka memberitahu, bahwa suamimu mendadak sakit dalam perjalanan pulang. Setelah sembuh ia akan segera kembali dengan selamat…” hiburnya.

Dua bulan Aminah menunggu, diutuslah Al-Harits oleh Abdul Muthalib untuk menyusul Abdullah ke Yatsrib (Madinah) yang sedang sakit. Akan tetapi kedatangan Al-Harits dari Yatsrib (Madinah) disambut duka cita yang mendalam setelah mengabarkan, bahwa Abdullah telah wafat, di tengah kaum kerabatnya, Bani Makhzum.

Betapa hancur hati Aminah mendengar berita yang sangat menyedihkan itu. Dua bulan ia menunggu kedatangan suaminya yang meninggalkan rumah dalam keadaan pengantin baru, tetapi yang datang bukan Abdullah, melainkan berita wafatnya.

Akan tetapi akhirnya Aminah menyadari setelah ia memahami hikmah kejadian yang memilukan itu. Pada waktu masih jejaka, Abdullah nyaris dikorbankan nyawanya untuk memenuhi nadzar ayahnya, Abdul Muthalib. Ia selamat berkat perubahan sikap ayahnya yang bersedia menebus nadzarnya dengan menyembelih seratus ekor unta. Tampaknya Allah memberi kesempatan hidup sementara kepada Abdullah hingga ia meninggalkan janin dalam kandungan istrinya.

Beberapa minggu menjelang kelahiran Muhammad, kota Makkah akan diserbu oleh Abrahah, penguasa dari Yaman yang akan menghancurkan Ka’bah. Akan tetapi sebagaimana diketahui, sebelum niatnya terwujud, Abrahah beserta beserta seluruh bala tentaranya dihancurkan oleh Allah swt.

Aminah melahirkan puteranya menjelang fajar hari Senin bulan Rabi’ul Awwal tahun Gajah. Saat itu ia berada seorang diri di dalam rumah, hanya ditemani seorang pembantunya, Barakah Ummu Aiman. Karena kondisi kesehatnnya yang memburuk, Aminah tidak dapat mengeluarkan air susu. Penyusuan bayi yang oleh kakeknya diberi nama Muhammad diserahkan kepada Tsuaibah Al-Aslamiyah. Selanjutnya penyusuan berpindah kepada Halimah as- Sa’diyah, seorang wanita yang berasal dari Bani Sa’ad bin Bakr.

Setelah mencapai usia lima tahun Muhammad dikembalikan kepada ibunya, Aminah. Pada kesempatan itu Aminah bermaksud mengajak buah hatinya berziarah ke makam ayahnya, Abdullah. Akan tetapi sungguh malang, dalam perjalanan pulang dari Madinah ke Makkah, bunda Muhammad saw, ini wafat di sebuah pedusunan bernama Abwa, terletak di antara Madinah dan Makkah. Selamat jalan ibu dari manusia termulia Muhammad saw.

Diposkan oleh Angga Kusumah

Bottom of Form